Selamat Datang di Media Online Alumni CPPN (Calon Pegawai Pencatat Nikah) Angkatan III Gelombang I di Jakarta Tahun 1996.

Selasa, 29 November 2011

Saksi Dalam Pernikahan

Oleh: Drs. H. Syaifuddin, M.Ag.
Pendahuluan
Ada hadis riwayat lbnu Hibban dalam kitab Shahihnya yang cukup populer di kalangan para fuqaha vang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah bersabda :
لانكاح الا بولي مرشد وشاهدي عدل
"'Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”

Pernikahan yang dilakukan dengan mengabaikan hal di atas nikahnya batal. Pernikahan bukan hanya "sekedar" menyanggkut sebuah proses administrasi, yang menyangkut pencatatan ataupun proses demonstratif yaitu walimah.
Namun yang lebih jauh dari itu adalah sebuah proses yang sakral, karena menyangkut sebuah "perjanjian agung" (ميثاقا غليظا) yang terkandung di dalamnya hak yang saling sensitif bagi seorang laki-laki, yaitu untuk memanfaatkan budlu' sang istri dan seluruh tubuhnya untuk tujuan "taladdud"

Manakala mencermati substansi dari sebuah prosss pernikahan yang sudah "muttafaq alaih" di kalangan para fuqoha, sebagaimana dalam ta'rif di atas, tentu selanjutnya akan memunculkan sebuah pertanyaan bagaimana dengan proses-proses pernikahan yang selama ini kita awasi dan selanjutnya kita catat, di mana dari proses tersebut mungkin "agak" sedikit mengesampingkan sabda Nabi SAW di atas, terutama dalam kaitannya dengan "dua orang saksi yang adil".

Dari persoalan pokok tentang saksi di atas makalah ini disuguhkan sebagai bahan diskusi dalam pertemuan kali ini dan makalah ini sengaja tidak membahas tentang bagaimana "'Adalah" (keadilan) wali dan permasalahan-permasalahan lain yang terkait dengan pernikahan, karena hal tersebut mungkin akan menjadi kajian tersendiri yang akan disampaikan oleh pemakalah yang lain.

Makalah inipun juga diharapkan oleh penulis hanya dibatasi untuk mencari solusi (problem solving) dari fakta yang ada dalam praktik di masyarakat dan sama sekali tidak ada tendensi untuk menggurui para audien karena penulis yakin bahwa materi yang diangkat dalam kajian ini sifatnya secara substansial hanya “nguyahi segoro".

Saksi dalam Kajian Fuqaha Salaf maupun Khalaf
Yang dimaksud saksi dalam kajian Fuqoha salaf adalah definisi dan kriteria saksi sebagaimana yang ada dalam kajian kitab-kitab klasik, sedang yang ada dalam kajian khalaf dimaksudkan oleh pemakalah yaitu fikih ala Indonesia seperti yang ada dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 maupun peraturan-peraturan lain yang melengkapi dan menyempurnakan, baik sebagai petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknisnya.

Dalam kajian salaf sebagai upaya memahami hadis di atas paling tidak ِAl-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Khusaini asy-Syafi’i yang termasuk faqih abad IX Hijriyah dalam Kitabnya Kifayatul Akhyar, beliau menjelaskan bahwa di samping ""wali nikah" yang diharuskan adil, kedua saksi pun juga disyaratkan demikian sebagimana bisa dicermati dari teks berikut:

فلا يصح عقد نكاح الا بحضرة شاهدين مسلمين وان كانت الزوجة ذمية مكلفين حرين ذكرين عدلين يعني في الظاهر ويشترط مع ذلك أن يكونا ممن تقبل شهادتهما لكل واحد من الزوج وعليه وأن يكونا سميعين بصيرين عارفين بلسان المتعاقدين متيقطين فلا ينعقد بحضرة المغفل الذي لا يضبط 

Tidak sah akad nikah kecuali dihadiri dua orang saksi, muslim -walau calon mempelai putri seorang wanita dimmi-, mukallaf, merdeka, laki-laki dan adil (dalam pandangan umum). Keduanya pun disyaratkan diambilkan dari saksi yang bisa diterima oleh kedua belah pihak dari calon suami dan istri. juga bisa mendengar, melihat dan memahami pembicaraan dari kedua orang yang mengadakan akad atau transaksi (wali atau ''wakilnya dengan calon suami) serta konsentrasi (fokus) mengikuti jalannya prosesi ijab qabul, oleh karena itu akad nikah belum sah jika saksinya melamun (mugfil) dan tidak memahami batasan sah tidaknya pernikahan. Semua hal di atas dimaksudkan untuk kehati-hatian karena akad nikah sebagaimana sudah kami sampaikan di atas menyangkut hal yang sensitif yaitu budlu, menjaga terjadinya keragu-raguan tentang keabsahan pernikahan itu sendiri di kemudian hari termasuk dalam hal ini tentang anak-anak yangg akan terlahir dalam pernikahan tersebut".

Sementara dalam Kitab Fiqh Ala al-Madzahibi Arba'ah karya Abdurrrahman al-Jaziri dalam literatur tersebut dikatakan bahwa ketiga fuqaha selain Malikiyah sepakat atas hadirnya saksi dalam pernikahan karena jika tidak demikian batal pernikahannya, sedang Malikiyah berpendapat bahwa adanya saksi itu tetap wajib, hanya saja saksi tidak diwajibkan -dengan kata lain sif'atnya hanya sunnah menyaksikan, mendengarkan bahkan fokus mengikuti prosesi ijab dan qabul, saksi menurut Malikiyah hanya cukup ikut masuk dalam prosesi (walau agak jauh tempat duduknya). 

Sedang jika kembali membahas tentang "adalah" saksi, menurut kelompok Syafi'iyah dan Hanabilah keduanya sepakat bahwa adilnya saksi cukup dari pantauan secara lahiriyah dan kedua pihak dari calon suami istri tidak perlu membahas terlalu jauh tentang hakekat kehadirannya karena hal itu justru akan menyulitkan dan merepotkan, menurut Malikiyah jika ditemukan saksi yang adil dialah yang seharusnya dijadikan saksi, namun jika tidak didapatkan saksi seperti itu maka cukup diambilkan dari orang yang tidak terkenal mengumbar kehohongan di mana-mana, sedang menurut Hanafiyah "adalah" tidak termasuk syarat dalam sahnya akad, akan tetapi jika terjadi pengingkaran terhadap ketetapan akad tersebut maka adil menjadi wajib.

Adapun dalam kajian fuqoha khalaf sebagaimana yang dimaksud penulis dalam makalah ini yaitu fiqh yang "landing" di Indonesia paling tidak syarat saksi di samping sebagaimana yang ada dalam kajian salaf'seperti Islam, baligh, berakal, laki-laki dan adil, ada tambahan tentang usia minimal saksi yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Batasan usia minimal saksi sebagaimana yang diatur dalam PMA 11/2007 Bab IX pasal 19 avat 2 nampaknya lebih dimaksudkan pada kepatutan karena menyaksikan sebuah proses yang sakral dan mengacu pada usia minimal calon mempelai laki-laki seperti yang diatur dalam UU Nomor 1/1974.

Sementara jika usia saksi yang harus 19 lahun tersebut jika dikomparasikan dengan baligh dalam pengertian fiqh Islam jelas bahwa usia 19 tahun sudah cukup baligh bagi seorang laki-laki karena dalam beberapa kasus kita temukan ada beberapa laki-laki yang baru berusia 15 (lima belas) tahun bahkan bisa kurang dari itu ternyata sudah bisa membuahi seorang perempuan (baca: gadis) yarrg akhirnya pernikahannya harus dilaksanakan dengan melalui proses dispensasi kawin dari Pengadilan Agama, di mana pernikahan ini dalam istilah di masyarakat sering dijuluki “MBA” (Maried by Accident)

Fakta Dalam Praktik
Dalam prosesi ijab qabul yang kita hadiri di masyarakat beberapa kali mungkin kita terpaksa harus melakukan "diskusi" dulu dengan beberapa pihak –kalau tidak mau dikatakan adu argument- untuk menentukan siapa saksi dalam proses pernikahan tersebut.

Hal ini dikarenakan setelah kita menanyakan siapa saksinya ternyata yang disodorkan adalah orang di mana orang tersebut informasinya barangkali telah sampai ke telinga kita bahwa orang tersebut kriterianya sangat jauh dengan kriteria saksi seperti yang disampaikan para fuqoha.

Saksi terkenal di masyarakat suka dengan perbuatan "MOLlMO" (maling, madon, madat, main dan mabuk), bahkan sangat terkenal tidak pernah wajahnya terbasuh dengan air wudlu karena memang tidak pernah menunaikan shalat walaupun secara administratif-tertulis dan tercatat sebagai muslim.

Dalam situasi seperti inilah kita harus dihadapkan pada posisi dilematis, manakah yang harus diprioritaskan, apakah kriteria para fuqoha yang hal ini akan membawa implikasi bisa jadi kita dimusuhi -walau tidak secara terang-terangan- oleh sebagian orang yang merasa tersinggung dengan "vonis" (meminjam istilah para hakim) kita, ataukah kita lebih memilih berkompromi dengan keadaan dan situasi serta fakta seperti itu.

Tentunya dengan satu motivasi yaitu kita "cari aman" dan "cari selamat" dan agar tetap bisa "bersahabat" dengan semua kalangan. Kalau memang alternatif kedua ini yang kita pilih, lalu bagaimana menjawab pertanyaan Dr. Yusuf al-Qordowi dalam risalahnya Fqh Siyam, bahwasanya Islam, Syariat, hukum ataupun fiqh adalah merupakan cetak biru dasar bagi penciptaan "caracter building" masyarakat. Wallahu A'lam

Tulisan Lain Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberikan komentar. Terimaksih atas komentar dan masukan yang diberikan.