Selamat Datang di Media Online Alumni CPPN (Calon Pegawai Pencatat Nikah) Angkatan III Gelombang I di Jakarta Tahun 1996.

Senin, 26 Juli 2010

Persyaratan Wali Nikah (Kritik Terhadap Penetapan Hukum PMA Nomor 11 Tahun 2007)

Oleh: Eko Mardiono

A. Pendahuluan
Kelahiran Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 11 Tahun 2007 tanggal 21 Juli 2007 tentang Pencatatan Nikah cukup mengundang perhatian banyak pihak, terutama di kalangan pelaksana undang-undang perkawinan. Hal ini dikarenakan diantaranya, pertama PMA 11/2007 ini membatalkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 477 Tahun 2004 tentang perihal yang sama.

Padahal sebenarnya lahirnya KMA 477/2004 merupakan upaya realisasi dari sebuah gagasan besar yang berwawasan jauh ke depan.
KMA ini mengemban amanat untuk mewujudkan sebuah konsep yang sudah sangat lama direncanakan guna mencapai cita-cita yang begitu luhur dan strategis, yaitu terberdayanya KUA dalam berbagai aspek tugas pokok dan fungsinya, supaya KUA ke depan tidak hanya berkutat dalam lingkup tugas nikah, talak, cerai, dan rujuk (NTCR).

Akan tetapi, tampaknya para pembuat kebijakan dalam merumuskan PMA 11/2007 ini mempunyai pertimbangan dan planning lain yang dianggap lebih cerdas dan progressif demi kebaikan dan kemajuan KUA itu sendiri sebagai lini terdepan Departemen Agama.

Kedua, PMA 11/2007 menetapkan beberapa ketentuan hukum perkawinan yang spesifik. Dalam perspektif ilmu hukum Islam (fiqh), dapat dikatakan bahwa beberapa ketentuan hukum perkawinan dalam PMA 11/2007 cukup fenomenal sekaligus kontroversial. Di antaranya adalah penetapan ketentuan tentang persyaratan wali nasab dalam pelaksanaan akad nikah.

PMA ini menetapkan, syarat wali nasab adalah : (a) laki-laki, (b) beragama Islam, (c) baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun, (d) berakal, (e) merdeka, dan (f) dapat berlaku adil.[1] Persyaratan ini berbeda dengan yang ditetapkan oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Kompilasi Hukum Islam hanya mensyaratkan wali nikah harus muslim, aqil, dan baligh.[2] Sehingga, dalam PMA tersebut ada penambahan syarat wali nikah, yaitu (1) berumur sekurang-kurangnya 19 tahun, (2) merdeka, dan (3) dapat berlaku adil.[3]

Tulisan ini disusun untuk mencoba mengkritisinya dalam perspektif hukum Islam di Indonesia dengan menggunakan pendekatan filosofis dan yuridis. Analisisnya akan dibatasi hanya pada penetapan syarat wali nikah yang berupa : baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun dan dapat berlaku adil supaya bisa lebih fokus dan konprehensif.

Adapun persyaratan wali nikah lainnya akan disinggung secara global. Kemudian, sebagai pisau bedah analisisnya, kajian ini akan mengimplementasikan teori ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i, serta teori handlichting (pendewasaan).

Ijtihad intiqa’i ialah ijtihad yang dilakukan dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan lebih kuat. Ijtihad insya’i adalah mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, yang permasalahan tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik masalah itu baru atau lama. 

Sedangkan gabungan antara ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i ialah menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih cocok dan lebih kuat, kemudian dalam pendapat tersebut ditambahkan unsur-unsur ijtihad baru.[4]

Handlichting (pendewasaan) ialah suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa penuh atau hanya untuk beberapa hal saja, ia dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.[5] Handlichting (pendewasaan) ini bisa berasal dari permohonan secara personal kepada presiden dan bisa sudah berupa ketetapan peraturan perundang-undangan.

B. Persyaratan Wali Nikah
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, penetapan PMA 11/2007 tentang persyaratan wali nikah yang harus sudah baligh dan sekurang-kurangnya berumur 19 tahun adalah berbeda dengan ketentuan yang ada dalam KHI dan fiqh-fiqh pada umunya.

Dalam khazanah ilmu fiqh, penentuan baligh didasarkan kepada kejadian ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل [6]
Yang menarik untuk dikritisi adalah, apa sebenarnya standar atau ukuran PMA 11/2007 dalam menetapkan bahwa balighnya seorang laki-laki terjadi pada minimal usia 19 tahun?

Padahal, menurut penelitian para pakar hukum Islam ---misalnya Al-Auza’i, imam Ahmad, Asy-syafi’i, Abu Yusuf, dan Muhammad--- baligh (kematangan fisik) seorang laki-laki terjadi paling cepat pada usia 9 tahun dan paling lambat usia 15 tahun.[7] Atau, apakah mungkin yang dimaksud usia minimal wali nikah oleh PMA 11/2007 di sini adalah bukan usia minimal baligh, tetapi usia minimal mencapai derajat rusyd?

Baligh dan rusyd adalah dua hal yang berbeda. Baligh dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan kematangan fisik, sedangkan rusyd biasa diterjemahkan dengan kematangan mental atau kematangan akal pikiran.

Baligh ditandai dengan ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan. Sedangkan, rusyd ialah keadaan seseorang yang mampu memahami hakekat sesuatu yang diperlukan dan yang tidak, sesuatu yang mungkin dan yang tidak, dan sesuatu yang dianggap penting dan yang dianggap membahayakan.[8]

Alquran memberikan petunjuk dalam menguji kematangan mental (rusyd) seseorang. Allah SWT berfirman Q.S. an-Nisa’ ayat 6.

Ayat ini menjelaskan tentang ketentuan menguji kematangan mental (rusyd) bagi anak yatim dan orang yang belum dewasa, baik bagi yang tidak normal karena ketidaksempurnaan daya pikirnya maupun yang semata-mata karena belum mencapai tingkat kedewasaan.[9]

Memang, sebagaimana pendapat Ahmad Azhar Basyir, M.A., akan lebih tepat apabila penentuan kedewasaan itu tidak hanya dibatasi dengan kriteria baligh, tetapi juga mengikutsertakan faktor rusyd (kematangan pertimbangan akal/mental).

Untuk menentukan waktu seseorang dipandang matang atau rusyd, menurut Basyir, dapat diadakan penelitian terhadap orang-orang antara umur 15 dan 25 tahun. Kemudian diambil angka rata-rata, kapan seseorang itu dipandang telah rusyd. Mungkin, akan ditemukan angka umur 19, 20, atau 21 tahun, yang kemudian dijadikan stándar baku untuk menentukan batas kedewasaan (rusyd) tersebut.[10]

Tampaknya, inilah yang dijadikan metode dan parameter para perumus PMA 11/2007 dalam menetapkan syarat batas minimal umur wali nikah, yaitu batasan umur rusyd (kematangan mental), bukan batasan baligh (kematangan fisik). Sebab sebagaimana telah dikemukakan, bahwa berdasarkan penelitian para pakar hukum Islam, baligh paling lambat terjadi pada usia 15 tahun. Apalagi pada era sekarang karena pengaruh media massa, baik elektronik ataupun cetak, dan pengaruh hormon makanan, bisa jadi seseorang akan lebih cepat lagi dalam mencapai usia baligh.

Dalam hal ini tampak bahwa pensyaratan minimal usia wali nikah di sini bertujuan demi kebaikan dan kemaslahatan semua pihak, karena dengan demikian wali nikah yang sudah rusyd akan bisa memutuskan segala sesuatu berdasarkan pertimbangan rasio, bukan emosi. Penetapan hukum ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah :

تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة [11]
Artinya : Peraturan Pemerintah adalah berintikan terjaminnya kemaslahatan rakyatnya.
Sementara itu di sisi lain, dalam literatur fiqh dikenal adanya satu mazhab yang mensyaratkan wali nikah harus sudah rusyd, tidak cukup sudah baligh. Mazhab tersebut adalah Hanabilah atau mazhab Hanbali.[12]

Dengan demikian, terlihat bahwa bentuk ijtihad yang digunakan dalam PMA 11/2007 adalah penggabungan antara ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i. Dikatakan menggunakan ijtihad intiqa’i karena menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu. 

Yaitu, dengan lebih memilih pendapat ulama mazhab Hanbali. Dikatakan menggunakan ijtihad insya’i karena ia menambahkan unsur-unsur ijtihad baru ke dalam pendapat mazhab Hanbali tersebut, yakni batasan definitif usia rusyd, yang berupa syarat umur wali nikah sekurang-kurangnya 19 tahun.

Pembatasan usia semacam ini belum pernah ditemukan ketentuan hukumnya dalam literatur fiqh klasik. Demikianlah hasil ijtihad kontemporer PMA 11/2007. Ia merupakan perkembangan progressif dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia.

Hanya saja, persoalannya sekarang adalah bagaimana posisi dan implementasi ketetapan PMA 11/2007 tersebut dalam hukum positif di Indonesia?

Hal ini perlu dicermati karena PMA 11/2007 merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Apalagi, PMA ini diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 5 di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2007.

Selain itu, juga karena ia harus berlandaskan dan bersesuaian dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia sebagai lex generalis-nya.[13]

Ternyata menurut hukum positif, batas kedewasaan seseorang adalah 21 tahun[14]. Sehingga secara a contario atau mafhum mukhalafah, seseorang yang belum berusia 21 tahun dianggap belum dewasa. Ia belum cakap bertindak hukum.[15]

Dalam perspektif ini, jelas ketetapan PMA 11/2007 tentang batasan minimal umur wali nikah sekurang-kurangnya 19 tahun tidak dapat diaplikasikan karena pada usia itu seseorang dianggap tidak cakap berbuat hukum, apalagi perbuatan hukum itu diperuntukkan bagi orang lain, yaitu calon isteri yang berada di bawah kewaliannya.

Jika tetap dipaksakan, tentunya perbuatan hukum wali nikah itu bisa dikategorikan dapat dibatalkan.[16] Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi hukum lainnya.

Sebenarnya, dalam hukum positif di Indonesia dikenal adanya lembaga handlichting (pendewasaan). Pendewasaan ialah suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa penuh atau hanya untuk beberapa hal saja, ia dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.[17]

Pendewasaan ini diberikan kepada seseorang karena ada kepentingan tertentu yang membutuhkan kecakapan berbuat hukum. Sehingga walaupun belum berusia genap 21 tahun, ia dapat diberi “dispensasi” berstatus dewasa sehingga cakap berbuat hukum. Permohonan pendewasaan ini diajukan kepada presiden.[18]

Pendewasaan sebagaimana diuraikan di atas merupakan pendewasaan atas inisiatif personal. Sebenarnya, ada lembaga handlichting (pendewasaan) yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Sehingga, walaupun tidak mengajukan permohonan pendewasaan kepada presiden secara personal, tetapi orang yang termasuk kategori itu sudah secara otomatis dianggap dewasa dan cakap berbuat hukum.

Yaitu, pendewasaan yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 50 ayat 1 Undang-undang ini menetapkan, anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

Menurut Prof. Subekti, S.H., tafsir a contario dari pasal 50 Undang-undang Perkawinan tersebut adalah jika anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua itu sudah mencapai umur 18 tahun, maka anak tersebut sudah dianggap dewasa, yang otomatis sudah cakap berbuat hukum.

Pakar hukum ini selanjutnya menyatakan, dengan ditetapkannya oleh Undang-undang Perkawinan bahwa 18 tahun sebagai usia kedewasaan, maka lembaga pendewasaan (handlichting) sudah kehilangan artinya.[19] 

Ketentuan kedewasaan Undang-undang Perkawinan lah yang berlaku, baik dalam bidang perkawinan maupun dalam hal perbuatan hukum pada umumnya. Yaitu, seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua apabila telah berusia 18 tahun sudah cakap berbuat hukum.

Dengan demikian, berdasarkan analisis yuridis ini dapat disimpulkan bahwa ketetapan PMA 11/2007 tentang batasan minimal umur wali nikah 19 tahun bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan. Menurut Undang-undang ini, batas minimal usia kedewasaan adalah 18 tahun.

Oleh karena itu, jika ada anak laki-laki yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua sudah berumur 18 tahun, anak tersebut sudah memenuhi syarat menjadi wali nikah. PMA 11/2007 tidak mungkin akan men-takhshish Undang-undang Perkawinan, apalagi membatalkannya.

Oleh karena itu, dengan menggunakan teori Prof. Subekti, S.H., ketentuan batas minimal umur wali nikah oleh PMA 11/2007 kehilangan artinya.

Bagaimana jika ada calon wali nikah berusia 18 tahun yang disebabkan ayah kandungnya telah meninggal dunia tetapi ia masih dalam kekuasaan salah satu orang tuanya, yaitu ibu kandungnya? Dalam kasus seperti ini, memang ia sudah memenuhi syarat rusyd tetapi belum dianggap dewasa oleh hukum positif.

Ketika seorang anak masih berada dalam kekuasaan kedua atau salah satu orang tuanya, usia kedewasaannya adalah 21 tahun. Handlichting (pendewasaan) oleh Undang-undang Perkawinan tidak berlaku baginya.

Oleh karena itu, apabila anak laki-laki tersebut akan menjadi wali nikah, ia harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari ibu kandungnya. Tentunya, pemberian izin ini harus berbentuk surat izin tertulis.

Syarat wali nikah kedua dalam PMA 11/2007 yang akan dikritisi dalam tulisan ini adalah syarat “dapat berlaku adil”. Penambahan persyaratan ini dalam aplikasinya bisa menimbulkan persoalan serius. Apalagi, PMA 11/2007 tidak menjelaskan kriteria “dapat berlaku adil” tersebut.

Hal ini bisa mengakibatkan beragamnya pemahaman di kalangan pelaksana Undang-undang Perkawinan dan semua pihak yang berkepentingan. Bisa jadi, bagi satu pihak seorang wali nikah dianggap adil, tetapi bagi lain pihak ia dinilai sebaliknya. Jelas, hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Padahal, para perintis dan pelaksana KHI berjuang dengan sekuat tenaga untuk menghilangkan semua itu. KHI disusun diantaranya adalah dalam rangka (1) menyamakan persepsi penerapan hukum, (2) mempercepat proses taqribi bainal umah, dan (3) menyingkirkan paham private affair.

Dengan adanya Kompilasi, diharapkan ia dapat menjadi sebagai jembatan penyeberang ke arah memperkecil pertentangan dan perbantahan khilafiyah. Pada akhirnya, penerapan hukum menjadi seragam dan kepastian hukum menjadi kenyataan.[20] Akan tetapi, tampaknya misi utama KHI ini dimentahkan kembali oleh PMA 11/2007.

Sebetulnya KHI hanya mengadopsi persyaratan wali nikah yang telah disepakati para ulama. Ada 3 syarat yang disepakati oleh mereka, yaitu Islam, baligh, dan berakal.[21] Bahkan, secara tegas Sayyid Sabiq menyatakan bahwa wali nikah tidak disyaratkan adil. Seseorang yang durhaka (fasiq) tidak kehilangan hak menjadi wali nikah, kecuali kalau kedurhakaannya melampaui batas-batas kewajaran yang berat.[22]

Kalau demikian, apa sebenarnya pertimbangan PMA 11/2007 mensyaratkan wali nikah harus “dapat berlaku adil”? Padahal kalau dikritisi, penambahan syarat ini sama sekali tidak ada pengaruhnya (وجوده كعدمه).[23] Hal ini terlihat di antaranya dari bentuk kata yang dipakai, yaitu menggunakan bentuk kata kerja (fi’il), “dapat berlaku adil”, tidak menggunakan bentuk kata benda atau pelaku (isim fa’il), “adil”.

Menurut M. Quraish Shihab, perbedaan antara kata yang berbentuk kata benda atau pelaku (isim fa’il) dan yang berbentuk kata kerja (fi’il) adalah kalau berbentuk kata yang pertama perbuatan itu sudah menjadi karakter dan kepribadiannya atau perbuatan itu berulangkali dikerjakan, sedangkan jika berbentuk kata yang kedua perbuatan itu hanya sesekali dikerjakan.[24]

Di dunia ini tidak ada seorang pun yang sesekali tidak pernah berlaku adil. Orang fasiq pun pasti pernah berlaku adil walaupun hanya sekali tempo. Paling tidak dapat berlaku adil pada saat mengijabkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya. Oleh karenanya, ia tetap memenuhi syarat wali nikah yang berupa “dapat berlaku adil”.

Inilah makna filosofis dari penggunaan kata berbentuk fi’il. Penggunaan kata berbentuk fi’il ini tentunya bukan ketidaksengajaan. PMA 11/2007 adalah produk peraturan hukum. Pasti sudah dicermati redaksi kalimatnya, kata demi kata. Apalagi penggunaan istilah adil (العادل) sudah lazim dalam literatur fiqh, tetapi justru ia tidak dipakai dalam PMA tersebut.

C. Penutup
1. Kesimpulan
a. Pembatasan minimal usia wali nikah dengan derajat rusyd adalah sebuah upaya ijtihad kontemporer dengan menggabungkan ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i.

b. Persyaratan wali nikah sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dalam PMA 11/2007 bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan, sehingga tidak bisa diterapkan.

c. Menurut Undang-undang Perkawinan, usia kedewasaan seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orantuanya adalah 18 tahun, sehingga pada usia itu seseorang sudah memenuhi syarat untuk menjadi wali nikah.

d. Penambahan persyaratan wali nikah berupa “dapat berlaku adil” justru bisa menimbulkan ketidakseragaman pemahaman dan penerapan serta ketidakpastian hukum, karena tidak ada kriteria baku tentang hal itu yang dapat diterima oleh semua pihak.

2. Saran dan Usul
a. Umur minimal seorang wali nikah dalam sebuah PMA akan lebih tepat apabila ditetapkan sekurang-kurangnya berusia 18 (delapan belas) tahun supaya tidak bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan. Kalaupun akan menaikkannya menjadi 19 tahun, maka terlebih dahulu harus meninjau ulang Undang-undang Perkawinan.

b. Ada pencantuman syarat wali nikah yang bisa berkonotasi negatif. Misalnya, syarat merdeka bisa berkonotasi kepada praktik perbudakan, mengesankan kembali lagi ke peraturan zaman beberapa abad yang lampau, dan terlalu classic fiqh oriented.

Padahal sebenarnya walaupun syarat merdeka itu tidak dicantumkan dalam PMA, tetapi syarat itu sudah otomatis harus diterapkan karena sudah menjadi ketentuan dalam hukum positif sebagai lex generalis PMA 11/2007. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Catatan:
[1] Pasal 18 ayat 2 PMA Nomor 11 Tahun 2007.
[2] Pasal 20 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[3] Adapun masalah syarat wali nikah harus laki-laki, pada dasarnya dalam PMA ini tidak ada penambahan karena yang disyaratkan dalam KHI wali harus muslim, aqil, dan baligh adalah seorang laki-laki. Cermati kembali Pasal 20 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia!
[4] Drs. Abdul Halim, M.Hum., “Ijtihad Kontemporer : Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, dalam Dr. Ainurrofiq, M.A. (ed.al), Mazhab Yogya : Menggagas Paradigma Ushul Kontemporer (Djogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 233.
[5] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermasa, 1989), hlm. 55.
[6] Al-Imam al-Hafiz al-Musannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman Ibni al-Asy'asas-Sijistani al-Azdi, edisi Muhammad Muhyi ad-Din 'Abd al-Hamid, Sunan Abi Dawud (ttp.: Dar al-Fikr li at-Taba'ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi', t.t.), juz IV : 141.
[7] Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhuti, Sharh al-Muntaha al-Iradat (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktaba as-Salafiya, t.t.), Vol. II, hlm. 289.
[8] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap Hukum Bidang Perkawinan dan Perjanjian (Yogyakarta : Insania Cita Press, 2006), hlm.24.
[9] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap., hlm. 25.
[10] Ahmad Azhar Basyir, M.A., Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm. 31.
[11] As-Sayuti, al-Asybah wa an-Nazair, (Indonesia : Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), hlm. 22.
[12] ‘Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al- ‘ala al-Mazahib al-‘Arba’ah (Misr : al-Maktabah at-Tijariyyat al-Kubra, 1969), hlm. IV : 28.
[13] Masalah lex generalis, lihat Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : Rajawali Press, 1991), hlm.21.
[14] Lihat : (1) pasal 330 KUH Perdata (BW), (2) Stb. 1924-556, (3) Stb. 1924-557, dan (4) Stb. 193-554.
[15] Drs. H. Dadan Muttaqien, S,H., M.Hum. , Cakap., hlm. 52.
[16] Pasal 71 (e) KHI menyatakan, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila : perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau oleh wali yang tidak berhak
[17] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok,. hlm. 55.
[18] Ibid.
[19] Ibid., hlm. 56.
[20] M. Yahya Harahap, “Materi Kompilasi Hukum Islam”, dalam Dr. Moh. Mahfud MD., S.H., S.U., (ed.al), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta : UII Press, 1993), hlm. 63 - 65.
[21] Muhammad Asy-Syarbini al-Khatib, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfaz al-Minhaj (Misr : Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1958), hlm. 14.
[22] Sayyid Sabiq, as-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr, 1426-1427 H/2006 M.), hlm. 517.
[23] Berdasarkan hasil pembinaan penghulu oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kantor Departemen Agama Kabupaten Sleman pada Kamis, 21 September 2006, dapat berlaku adil bagi wali nikah di sini dipahami beragama Islam. Dengan demikian, penulis menyimpulkan, persyaratan dapat berlaku adil tidak diperlukan karena syarat ini sama dengan syarat Islam yang sudah menjadi salah satu syarat wali nikah.
[24] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta : Lentera Hati, 2000), Vol. 1, hlm. 98.

Tulisan Lain Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberikan komentar. Terimaksih atas komentar dan masukan yang diberikan.