Selamat Datang di Media Online Alumni CPPN (Calon Pegawai Pencatat Nikah) Angkatan III Gelombang I di Jakarta Tahun 1996.

Selasa, 21 Mei 2013

AGAR KONFLIK MENJADI ASYIK

Oleh: H. Nur Ahmad Ghojali, MA

Membangun keluarga sakinah memang tidak mudah, ia merupakan bentangan proses panjang yang sering menemui badai rintangan. Tak mudah menemukan formulanya, membutuhkan seni mewujudkannya. Ketika keluarga terlihat harmonis, tidaklah kemudian terlepas dari perjalanan manis, halangan menghadang yang selalu menuntut jawaban.

Tidak sedikit menghadapi konflik menjadi pelik, cerai tak pelak jadi solusi terakhir hindari damai. Tiap keluarga tidak terbebas dari konflik, dari yang sifatnya ringan sampai yang berat. Konflik tidak bisa dihindari, datang silih berganti dari perbedaan pendapat, kebiasaaan, perbedaan kesukaan, yang senangpun bisa jadi konflik, lalu bisakah konflik dikemas menjadi asyik?

Read More......

Selasa, 27 Desember 2011

RAPUHNYA KELUARGA, MENGAPA?

Oleh : H. Nur Ahmad Ghojali MA
(Sumber: Majalah Bhakti Edisi Januari 2012)

Pernikahan merupakan awal dari kehidupan keluarga. Telah menjadi sunnatullah bahwa setiap orang yang memasuki gerbang pernikahan akan memimpikan keluarga sakinah. Keluarga sakinah merupakan pilar pembentukan masyarakat ideal yang dapat melahirkan keturunan yang shalih dan shalihah. Di dalamnya, kita akan menemukan kehangatan, kasih sayang, kebahagiaan, dan ketenangan yang akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga.

Dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum : 21).

Pernikahan dalam Islam memiliki ciri istimewa, yaitu sebagai ibadah. Di dalamnya terhimpun unsur komitmen dan kepatuhan seorang muslim terhadap akidah dan syariah yang telah digariskan dalam ajaran agama. Dalam kehidupan pernikahan menurut tuntunan Allah SWT, telah digariskan ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban dan hak suami isteri yang harus ditunaikan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri atas dasar saling memberi dan menerima satu sama lain.

Hasrat untuk membangun biduk rumah tangga yang harmonis tanpa dilandasi oleh orientasi pernikahan yang jelas dan sikap saling menghargai antara pasangan suami-isteri (pasutri) ibarat menegakkan benang basah. Semakin jamaknya rumah tangga yang nyaris tak terselamatkan dikarenakan niatnya sudah mengalami disorientasi sehingga rumah tidak memberikan keteduhan jiwa bagi penghuninya.

Kuat atau rapuhnya kehidupan rumah tangga tergantung pada kuat atau rapuhnya hubungan para anggotanya, terutama suami dan istri. Pernikahan telah menyatukan dua insan berlainan jenis yang saling mencintai dan juga mempertemukan dua karakter yang berbeda.

Di tengah perbedaan itulah dituntut untuk saling mempelajari watak keduanya agar dengan perbedaan dinamika rumah tangga menjadi lebih aktif dan hidup. Namun demikian tak banyak orang yang pandai mengelola perbedaan di dalam rumah tangga sehingga banyak yang harus mengakhiri hubungan rumah tangganya di dengan perceraian.

Dari data Angka Perceraian yang dikeluarkan Pengadilan Agama ataupun yang terhimpun di Pengadilan Tinggi Agama, Tren Perceraian di Indonesia dan juga khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta meningkat dari tahun ketahun.

Dari seminar sehari yang diselenggarakan MUI Provinsi DI Yogyakarta tanggal 17 Desember 2011 didapat angka cerai talak dan gugat sejumlah 251.206. Dari data tersebut sebanyak 30% merupakan cerai talak sedangkan sisanya 70% adalah kasus cerai gugat (cerai yang diajukan oleh istri).

Menurut Dra Siti Fauziyah SH, Hakim PA Yogyakarta Faktor Perceraian disebabkan banyak hal, mulai dari : cemburu, kawin paksa sampai karena tidak ada tanggung jawab, factor ekonomi, gangguan pihak ketiga, krisis moral, factor ketidakharmonisan merupakan penyebab terbanyak hingga mencapai 35 %.


Faktor terbesar pertama pemicu perceraian adalah ketidakharmonisan. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal, antara lain: krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail, misalnya percecokan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi.

Secara otomatis percecokan itu akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya perselingkuhan antara suami isteri, diperkosa suami, kekurangpuasan pelayanan di tempat tidur, kurang percaya dalam pengelolaan keuangan rumah tangga.

Kebiasaan masing-masing yang sulit dirubah, istri tidak lagi mematuhi perintah dan larangan sumai, karena pendapatan suami lebih kecil dari pendapatan isteri atau bahkan isteri tidak lagi memperhatikan suami, anak-anak dan rumah tangga. Kebanyakan wanita sekarang lebih memilih karir.

Faktor terbesar kedua yang memicu perceraian adalah tanggung jawab yang kurang dari pihak suami-suami sering melalaikan tanggungjawabnya bahkan isteri ditelantarkan sering terjadi pada perkara ghaib hingga isteri ditinggal pergi bertahun-tahun tanpa kabar berita tidak pernah kembali dan tidak diketahui alamatnya di wilayah Republik Indonesia bisa juga karena isteri melalaikan kewajibannya sebagai isteri.

Faktor terbesar ketiga adalah faktor ekonomi dimana isteri sering tidak diberi nafkah oleh suami hingga harus terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan masih sering dibantu oleh orang tuanya.

Faktor terbesar keempat adalah gangguan pihak ketiga yaitu terjadinya perselingkuhan baik yang dilakukan oleh isteri/suami atau perzinahan yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun isteri.

Faktor terbesar kelima adalah krisis moral dan akhlak seperti pelecehan dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan baik oleh suami ataupun isteri missal mabuk, berzinah, terlibat tindak criminal bahkan utang piutang bahkan Jejaring social Facebook ternyata bisa menjadi penyebab perceraian yang biasanya diawali dengan mengirim pesan malalui komentar mesra kepada teman atau sebaliknya dan hal itu diketahui pasangannya.

Faktor keenam adalah Kekejaman Jasmani yang dilakukan baik oleh isteri maupun suami yang diistilahkan dengan KDRT yang bisa berakibat trauma pada pasangannya hal ini bisa dibuktikan dengan Visum dari Dokter.

Faktor ketujuh adalah Kekejaman mental/psikis seperti mengucapkan kata-kata kasar yang menyakitkan pasangannya, missal ABC, Pelacur, dll.

Faktor kedelapan adalah factor politis karena letak rumha yang saling bertolak belakang dank arena perbedaan golongan antara NU dengan Muhammadiyah menjadi factor penyebab perceraian.


Faktor kesembilan ada dua, yaitu karena: (1.)  Cacat biologis sehingga tidak bisa melayani pasangannya dengan baik. (2.) Cemburu, factor ini sering terjadi baik dilakukan oleh suami/isteri pemicu terjadinya perceraian terkadang ini hanyalah alas an belaka.

Pada kenyataannya yang sering terjadi dari perselingkuhan hingga telah menikah sirri, bahkan timbulnya cemburu yang berlebihan dan hilangnya rasa saling percaya di antara suami isteri. Bisa disebabkan karna di antara suami isteri sering keluar masing-masing di luar jadwal kerja.

Faktor kesepuluh adanya kawin paksa yang dilakukan oleh orangtua karena perjodohan sehingga belum saling mengemnal lebih jauh pasangannya. Pernikahan tanpa cinta ini juga memicu terjadinya perceraian karena tidak ada rasa saling mencintai (mawaddah) dan kasih saying (rahmah) di antsara suami-isteri.

Faktor kesebelas, ada tiga, yaitu: (1.) Dihukum, bisa karena melakukan penganiayaan, pelecehan, dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan baik oleh suami ataupun isteri missal terlibat tindak criminal (mencuri, memperkosa, membunuh) bahkan utang piutang.

(2.) Poligami tidak sehat adalah perkawinan yang dilakukan ijin Pengadilan Agama artinya nikah sirri yang hal ini sangat merugikan baik isteri pertama maupun kedua ini juga menjadi pemicu terjadinya perceraian.

(3.) Faktor terakhir adalah karena kawin di bawah umur, factor ini kecil sekali menjadi pemicu penyebab terjadinya perceraian. (Dra Siti Fauziah SH, Makalah Seminar Sehari MUI tentang Perceraian, Penyebab, Problematika dan Pencegahannya, 17 Des 2011)

Dari beberapa factor tersebut tentu menjadi perhatian bagi lembaga BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) agar pelestarian perkawinan tetap terjaga. Badan ini diharapkan merubah paradigmanya untuk tidak hanya memberikan penasihatan pra nikah/kursus calon manten tapi juga menjadi konselor dan mediator bagi keluarga yang mengalami kerentanan.

BP4 harus memerankan bidang garapnya secara detail mulai dari pra nikah, tidak hanya pemahaman keagamaan terhadap caten tetapi melingkupi materi kesehatan, ekonomi, psikologi keluarga. Di Masa Perkawinan 0 tahun sampai dengan 10 th BP4 juga kerja sama dengan lembaga/instansi lain untuk mengadakan pembinaan pasca nikah seperti mendidik anak, Materi Pendidikan kependudukan dan KB.

Rapuhnya keluarga yang berakibat terjadinya perceraian membawa dampak tidak hanya bagi suami istri tapi juga dampak buruk bagi perkembangan anak.

Dampak perceraian bagi suami istri antara lain:
(1) Pasangan yang pernah hidup bersama lalu berpisah tentu akan menjadi canggung saat bertemu kembali.
(2) Kebanyakan pasangan bercerai diawali oleh perselisihan/permusuhan hal ini akan sangat merenggangkan silaturahmi di kemudian hari.

(3) Pasangan yang bercerai tidak diawali permusuhan pun (bercerai baik-baik) dapat menjadi saling tidak suka akibat perceraian misalnya masalah harta bersama atau hak asuh anak.

(4) Perceraian terkadang menimbulkan trauma bagi pasangan itu sendiri. Kegagalan rumah tangga menjadi kenangan buruk dan kadang menghambat seseorang untuk menikah kembali dengan orang lain.

(5) Masalah perceraian adalah masalah yang rumit hal ini bisa membuat pasangan menjadi stress dan depresi, perasaan ini sangat tidak emnguntungkan khususnya dalam hal pergaulan maupun pekerjaan.

Sedangkan dampak perceraian bagi anak antara lain:
(1) Bila perceraian terjadi saat anak sudah dewasa mungkin tidak terlalu berpengaruh pada anak namun bila anak masih kecil, dampak tersebut sangat terasa hal ini membuat anak menjadi bingung dan merasa tidak nyaman karena keluarga sudah tidak lengkap lagi.

(2) Anak bisa saja membenci orangtuanya. Hal ini bisa menimbulkan akibat lain, salah satunya kelainan seksual, misalnya seorang anak perempuan membenci ayahnya yang menceraikan ibunya, anak tersebut bisa membenci kaum pria dan kemudian beralih menyukai sesama jenis.

(3) Anak dapat meniru perilaku orangtuanya, karena orangtuanyapun melakukan perceraian.

(4) Anak bisa sangat tertekan, stress atau depresi, perasaan ini bisa membuat anak menjadi lebih pendiam, jarang bergaul dan prestasinya merosot, atau anak sebaliknya menjadi pemberontak. Jiwa labil ini bisa menggiring anak pada pergaulan yang salah, seperti sex bebas, narkoba, atau bahkan criminal.

(5) Anak menjadi trauma berupa ketakutan untuk menikah atau takut menerima orangtua tiri yang baru.

(6) Perceraian harus dilakukan dengan cara baik. Artinya suami dan istri yang bercerai benar-benar melakukannya dengan penuh rasa kesadaran dan pengertian bahwa mereka bercerai untuk kebaikan dan kebahagiaan masing-masing, bukan karena dorongan permusuhan dan kebencian.

(7) Suami istri yang bercerai tetap memiliki tanggungjawab terhadap anak-anaknya

(8) Suami istri yang bercerai wajib tetap menjaga persaudaraan yang baik, tidak boleh saling mendengki, saling menjelek-jelekkan, apalagi saling meneror.

(9) Anak-anak dari orangtua yang telah bercerai diberi pengertian dengan sebaik-baiknya bahwa ayah dan ibu mereka berpisah semata-mata untuk mencari jalan terbaik bagi kepentingan anak-anak dan orangtuanya. Anak-anak akan mendapatkan suasana yang lebih damai dan tenang di bawah naungan ibu tanpa ayah atau sebaliknya. (Siti Fauziah,ibid)

Tentu dampak perceraian tidak hanya menyangkut suami istri dan anak tapi juga social antara lain stigma bahwa perceraian itu hal yang mudah dan biasa, kenakalan anak di masyarakat. Maka harus ada upaya terintegrasi antara Pengadilan Agama dengan Kementerian Agama, BP4, BKKBN, MUI dan instansi/lembaga terkait untuk meminimalisasi perceraian. Perceraian menimbulkan problematika tidak hanya pada keluarga, masyarakat tapi juga implikasi terhadap Negara.

Back to Family, kembali kepada keluarga dan baiti jannati rumahku surgaku harus kembali dikibarkan agar keluarga ternaung dalam rumah yang penuh limpahan kasih. Suami istri terbina dengan serasi sebagaimana lagu mars BP4, Wanita Pria dalam persamaan untuk kebahagiaan keturunan, Suami istri hindarkan cerai marilah kita menuju damai,…Mari berbakti hingga tercapai. Semoga 


(Penulis Kepala Seksi Pengembangan Keluarga Sakinah
Kanwil Kemenag DIY, Sekretaris I BP4 Prov. DIY).

Read More......

Selasa, 29 November 2011

Saksi Dalam Pernikahan

Oleh: Drs. H. Syaifuddin, M.Ag.
Pendahuluan
Ada hadis riwayat lbnu Hibban dalam kitab Shahihnya yang cukup populer di kalangan para fuqaha vang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah bersabda :
لانكاح الا بولي مرشد وشاهدي عدل
"'Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”

Pernikahan yang dilakukan dengan mengabaikan hal di atas nikahnya batal. Pernikahan bukan hanya "sekedar" menyanggkut sebuah proses administrasi, yang menyangkut pencatatan ataupun proses demonstratif yaitu walimah.

Read More......