Selamat Datang di Media Online Alumni CPPN (Calon Pegawai Pencatat Nikah) Angkatan III Gelombang I di Jakarta Tahun 1996.

Jumat, 26 Maret 2010

Pemberdayaan Perempuan di KUA

Oleh: Eko Mardiono
   
Sekarang ini sudah banyak perempuan yang menduduki posisi strategis, baik dalam lembaga legislatif, eksekutif maupun dalam kehidupan sosial. Pemerintah pun telah menjalankan program pengarusutamaan gender. 

Program pemberdayaan perempuan tersebut menjadi sangat krusial ketika bersinggungan dengan pemahaman keagamaan. Oleh karenanya, sangatlah menarik membahasnya dari aspek tersebut.
Sebagai sampelnya, tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana pemberdayaan perempuan di Kantor Urusan Agama (KUA). KUA di satu sisi merupakan institusi pemerintah, di lain sisi ia sebagai instansi pelaksana pemahaman keagamaan.

Di samping itu, KUA juga mempunyai tugas dan fungsi yang bersinggungan langsung dengan kehidupan sosial. Persoalannya sekarang, bagaimana seharusnya distribusi peran dan jabatan di KUA yang ideal dalam perspektif gender?

Semenjak kelahirannya sampai sekarang, kepala KUA selalu dijabat oleh laki-laki. Perempuan tidak pernah mendudukinya. Hal ini karena kepala KUA sekaligus ditunjuk sebagai wali hakim. Padahal, wali hakim harus seorang laki-laki. Akankah selamanya perempuan di KUA menjadi staf?

Pertanyaan ini mengemuka karena di KUA hanya ada dua jabatan, yaitu kepala kantor dan staf. Di dalamnya tidak terdapat jabatan struktural lainnya. Kalaupun ada jabatan fungsional penghulu, itu pun selama ini hanya diduduki oleh orang laki-laki.

Secercah harapan sebenarnya pernah muncul, yaitu ketika dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama (KMA) 477/2004 tentang Pencatatan Nikah. Menurut KMA ini, kepala KUA tidak sebagai penghulu dan juga tidak sebagai wali hakim.

Berdasarkan KMA yang akhirnya dicabut oleh Peraturan Menteri Agama (PMA) 11/2007 ini, perempuan berpeluang menjabat sebagai kepala KUA.

Hanya saja, tidak selang begitu lama keluarlah PMA 30/2005 tentang Wali Hakim. PMA yang disebut terakhir ini menunjuk kembali kepala KUA sebagai wali hakim. Sejak saat itulah tertutup lagi kesempatan perempuan untuk menduduki jabatan kepala KUA.

Pertanyaannnya sekarang, masih adakah peluang lain bagi perempuan untuk mengabdikan dan mengaktualisasikan diri di KUA sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya?

Tulisan ini mempunyai sebuah hipotesis, sebenarnya bagi mereka masih terbuka peluang itu. Mereka bisa menduduki jabatan fungsional penghulu. Sebuah jabatan yang sangat strategis untuk level KUA.

Namun, selama ini jabatan fungsional tersebut hanya diduduki oleh laki-laki. Memang, seperti itulah opini publik, bahkan termasuk praktik para pengambil kebijakan.

Oleh karena itu, sangatlah urgen mengemukakan sekaligus mensosialisasikan argumen-argumen yang mendukung bahwa jabatan fungsional penghulu sebetulnya tidak hanya untuk kaum Adam.

Paling tidak ada tiga aspek argumen yang dapat dikemukakan, yakni aspek formal, agama, dan sosial. Pertama: aspek formal. Menurut PMA 11/ 2007 pasal 1 (3), penghulu adalah pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.

Berdasarkan PMA ini tampak bahwa penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil itu bisa laki-laki dan juga bisa perempuan.

Mungkin yang dipersoalkan, menurut agama Islam bolehkah seorang perempuan melakukan tugas-tugas kepenghuluan itu? Permasalahannya pun beralih ke aspek agama.

Kedua: aspek agama. Islam menentukan bahwa pernikahan sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama itu. Suatu pernikahan dihukumi sah jika telah terpenuhi syarat dan rukunnya.

Syarat dan rukun itu adalah calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul. Tampak, penghulu tidak termasuk di dalamnya. Dalam peristiwa akad nikah ini, penghulu memang hanya sebagai pengawas dan pencatat perkawinan.

Memang, selama ini dalam prosesi pelaksanaan akad nikah terdapat khutbah dan doa akad nikah. Namun, yang perlu diingat, keduanya tidak termasuk rukun akad nikah.

Keduanya tidak harus ada. Kalaupun diharuskan ada, tidak bolehkah menurut Islam seorang perempuan memberikan khutbah dan doa akad nikah? Jawabannya boleh; dan sebenarnya istilah khutbah nikah bisa saja diganti dengan istilah nasihat perkawinan.

Ada hal lain yang mungkin dipersoalkan ketika penghulu dijabat oleh seorang perempuan. Yaitu, masih adanya sebagian wali nikah yang mewakilkan hak kewaliannya kepada penghulu padahal menurut Islam yang bisa mewakilinya hanyalah seorang laki-laki.

Sebetulnya persoalan itu pun bisa dicarikan solusinya. Persoalan tersebut dapat diselesaikan dengan pendekatan sosial dan kebijakan institusional.

Ketiga: aspek sosial dan institusional. Terhadap kebiasaan sebagian masyarakat yang mewakilkan hak kewaliannya kepada penghulu, dapat ditempuh dua langkah. Pertama, mereka diberi penjelasan bahwa lebih utama apabila mereka sendiri yang menikahkan.

Sebelumnya mereka dapat dilatih sehingga mampu melaksanakan kewajiban mulianya itu. Kalaupun mereka tetap mewakilkan kepada penghulu, maka dapat ditempuh langkah kedua. Yakni, dilakukan identifikasi wali nikah yang akan menikahkan sendiri. Kemudian penghulu perempuan lah yang diserahi tugas untuk menghadirinya.

Memang harus diakui, sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang masih resisten terhadap kehadiran perempuan di ranah publik. Terhadap persoalan krusial ini dapat dilakukan pemetaan, mana yang masuk wilayah konstruksi sosial dan mana yang masuk wilayah ritual keagamaan.

Sambil menunggu proses pencerahan ini, penghulu perempuan untuk sementara dapat diserahi tugas-tugas kepenghuluan yang tidak bersinggungan langsung dengan “upacara keagamaan”.

Mereka dapat diserahi tugas untuk melakukan pendaftaran dan pemeriksaan nikah, konsultasi perkawinan, dan pengembangan keluarga sakinah. Bahkan lebih daripada itu, mereka dapat diterjunkan di bidang tugas-tugas pengembangan profesi kepenghuluan.

Jelas, akan banyak pengaruh positifnya jika di KUA potensi penghulu perempuan diberdayakan. Kekurangan jumlah penghulu akan bisa terpenuhi. Bidang tugas kepenghuluan yang selama ini belum terjangkau dapat tertangani.

Kesan publik bahwa KUA hanya banyak menangani masalah “ijab qabul” bisa terkurangi. Para pegawai dari kaum Hawa ini pun bisa meniti karir di KUA Kecamatan. Mereka akan bisa menjadi penghulu madya yang bergolongan IV/c.

Tulisan Lain Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberikan komentar. Terimaksih atas komentar dan masukan yang diberikan.