Selamat Datang di Media Online Alumni CPPN (Calon Pegawai Pencatat Nikah) Angkatan III Gelombang I di Jakarta Tahun 1996.

Selasa, 21 Mei 2013

AGAR KONFLIK MENJADI ASYIK

Oleh: H. Nur Ahmad Ghojali, MA

Membangun keluarga sakinah memang tidak mudah, ia merupakan bentangan proses panjang yang sering menemui badai rintangan. Tak mudah menemukan formulanya, membutuhkan seni mewujudkannya. Ketika keluarga terlihat harmonis, tidaklah kemudian terlepas dari perjalanan manis, halangan menghadang yang selalu menuntut jawaban.

Tidak sedikit menghadapi konflik menjadi pelik, cerai tak pelak jadi solusi terakhir hindari damai. Tiap keluarga tidak terbebas dari konflik, dari yang sifatnya ringan sampai yang berat. Konflik tidak bisa dihindari, datang silih berganti dari perbedaan pendapat, kebiasaaan, perbedaan kesukaan, yang senangpun bisa jadi konflik, lalu bisakah konflik dikemas menjadi asyik?
Konflik dalam kamus Indonesia berarti percekcokan, perselisihan, pertentangan. Tidak hanya terjadi saat ini, di masa Rasulullah, konflik keluarga sahabat pun terjadi. Diriwayatkan dari Hamid Ibn Nafi dari Ummu Kulsum binti Abu Bakar Siddiq, bahwa Nabi pada suatu ketika di malam hari didatangi oleh tujuh puluh perempuan yang kesemuanya mengadukan perihal pemukulan yang dilakukan suami mereka.

Atas kejadian ini Nabi menjadikan salah satu misi dakwah terpentingnya adalah membenahi tatanan kehidupan rumah tangga menuju keluarga sakinah. Dalam salah satu khutbahnya, Nabi menyeru para suami meninggalkan perilaku kasar dan melarang memukul istri-istri mereka.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Nabi tidak pernah sekali pun memukul seorang perempuan (istri) tidak juga pelayan. Nabi-seperti dalam banyak riwayat- tidak pernah marah sedikit pun tarhadap istrinya sekalipun tampak dari mereka kesalahan. Nabi selalu menebar senyum dan kasih sayang pada mereka.

Bahkan dalam urusan rumah tangga, sehingga beliau tidak segan-segan menjahit baju dan memperbaiki terompah dengan kedua tangannya sendiri. Nabi juga tidak membangunkan istrinya yang terlelap tidur karena ia pulang terlambat. Kisah yang sangat populer dari bentuk akhlak Nabi yang menyayangi istrinya.

Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Dahulu pertengkaran, percekcokan akan malu didengar dan dilihat tetangga, demikian juga tabu menceritakan problem rumah tangganya.

Kenapa konflik dalam keluarga terjadi? Konflik dalam keluarga timbul karena banyak faktor, antara lain faktor kepribadian yang kurang dewasa. Tugas kepribadian adalah untuk menyesuaikan diri terhadap kesulitan hidup dan untuk manjaga keseimbangan diri.

Menurut Prof. Soewadi dalam Pola Pembinaan Keluarga Sakinah (Kemenag; 2011) kepribadian yang sulit menyesuaikan diri sering menimbulkan konflik antara lain egosentris, ingin sangat dimanja, pasif, tidak mau memaafkan, cemburu buta, kurang matang dalam reaksi emosional dan sifat ingin menang sendiri.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan konflik terjadi dalam keluarga: (1.) Kepribadian (2.) Biologis a. gangguan fisik dan mental b. deviasi seksual c. tidak punya anak. (3.) Budaya a. lain kepercayaan dan faham agama b. lain adat (4.) ekonomi, kesibukan dalam mencari nafkah, ataupun ekonomi yang tidak mencukupi. 

Keharmonisan dalam keluarga seringkali gagal dan kandas diakibatkan oleh persoalan keluarga yang sepele dan tidak urgen. Persoalan tersebut bila tidak diantisipasi sedini mungkin, konflik akan berakibat fatal bagi relasi interaksi suami istri.

Konflik dalam perkawinan adalah hal yang wajar, ibarat masakan konflik merupakan bumbunya. terasa hambar rasanya tanpa konflik. Agar konflik tidak menjadi fatal tapi menjadi asyik, maka konflik dijadikan seni mengelola rumah tangga.

Bila memperhatikan kasus-kasus perceraian, umumnya berasal dari masalah sepele yang dibesar-besarkan atau karena tidak segera dicarikan solusinya sehingga menjadi besar. Ketika konflik terjadi suami istri mulai canggung mengakui kesalahannya, komunikasi menjadi sulit, terjadi perbedaan pendapat yang berujung pada percekcokan.

Konflik akan semakin tajam dan bertambah keruh apabila ada pihak ketiga yang ikut campur tangan. Agar konflik tidak berkelanjutan, maka dibutuhkan komunikasi yang efektif.

Untuk menumbuhkannya maka dilakukan antara lain: (1.) saling memaafkan, membuat hubungan yang menyenangkan, penuh pengertian, tanpa menilai dan mengancam. (2.) komunikasi dipusatkan pada pribadi dan bukan untuk mengendalikan pasangan. (3.) menghindari bertambahnya kecemasan dengan cara: a. menimbulkan rasa aman. b. tidak menuntut lebih dari kemampuan pasangan. c. orientasi selalu pada pasangan. d. tidak menunjukkan perlakuan kasar.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dihindari juga agar konflik tidak jadi pelik, tapi menjadi asyik antara lain: (1.) membuka rahasia pribadi segala rahasia pribadi, lebih-lebih yang menyangkut aib dan kekuarangan suami maupun istri (termasuk keluarganya), tidak perlu dibukakan atau dikatakan kepada orang lain.

(2.) Cemburu yang berlebihan (3.) Mengulangi cerita lama/nostalgia pribadi. Apapun dan bagaimanapun kisah kasih yang pernah dialami suami istri biarkanlah berlalu, pupus habiskan dari kenangan dan ingatan. Jadikan sebagai angin yang bertiup dalam perjalanan kehidupan. Hari kemarin tak mungkin kembali. Yang jelas hari esok akan datang, hadapi dengan kebersamaan.

(4.) mengungkit kekurangan keluarga (5.) Suka mencela kekurangan istri/suami. (6.) Memuji wanita/pria lain. Memuji wanita/pria lain akan mengundang perselisihan, Justru pujian harus diberikan kepada suami/istri.

(7.) Kurang peka terhadap hal-hal yang tidak disenangi. Suami/istri harus peka dan tanggap atas segala sesuatu yang dapat menimbulkan rasa tidak senang pada diri masing-masing. Tingggalkan kata dan perbuatan yang tidak disenangi pasangan.

Psikolog Dra. Mayke S. Tedjasaputra mengatakan bahwa sebuah pertengkaran yang “sehat” bisa menjadi alat untuk menemukan solusi atas masalah yang timbul antara suami istri. “Pertengkaran juga bisa menjadi proses pengenalan dan pendewasaan diri.

Biasanya, semakin matang dan dewasa seseorang ketika memasuki kehidupan perkawinan, semakin mudah ia mengendalikan emosi dengan berbagai pertimbangan. Maka harus disadari dalam keluarga, Menurut Jamil Azzaini (KR,Opini,5-1-2012)

Kekayaan keluarga dalam sebuah keluarga bukan hanya tangible aset (kekayaan yang dapat dilihat/tampak) seperti rumah beserta isinya mobil, tanah atau aset lain. Seharusnya intangible aset ( aset yang tidak terlihat) seperti keimanan, kejujuran, tanggung jawab, kepedulian dalam keluarga dalam sebuah keluarga nilainya jauh lebih besar dibandingkan dengan aset-aset yang tampak.

Untuk merubah konflik menjadi asyik dibutuhkan upaya positif. jangan menyepelekan waktu-waktu luang untuk obrolan ringan dengan suami istri dan anggota keluarga, bercanda, bermain membangun obrolan, mengeluarkan kata-kata romantis, merayu, memberi hadiah kejutan dan menggoda, sehingga kemesraan senantiasa tercipta.

Penulis, Kepala Seksi Pengembangan Keluarga Sakinah,
Sekretaris I BP4 Propinsi DIY

Tulisan Lain Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan memberikan komentar. Terimaksih atas komentar dan masukan yang diberikan.